Sunday, September 2, 2012

Home » » SROWOLAN (Sorowulan): RUMPUT HIJAU YANG BUTUH SIRAMAN

SROWOLAN (Sorowulan): RUMPUT HIJAU YANG BUTUH SIRAMAN

Jika rumput di halaman tetangga selalu tampak lebih hijau, maka tugas setiap orang seharusnya adalah merawat serta menjaga agar rumput halaman rumahnya juga tetap terlihat hijau di mata tetangga. Tapi sayangnya yang terjadi adalah sebaliknya, keberhasilan orang lain kadang begitu mudah membuat orang silau sehingga berusaha meniru dan meraih keberhasilan serupa tanpa menyadari bahwa potensi sendiri yang sebenarnya tidak kalah berharganya justru menjadi terlantar karenanya.
Tepatnya hari Minggu pagi, 6 Juni 2010 lalu, kami komunitas Opoto (Onthel Potorono) ikut memeriahkan acara bersepeda disekitar kawasan Pasar Perjuangan Srowolan, tepatnya di Dusun Srowolan Desa Purwobinangun, Kec. Pakem Kab. Sleman, Yogyakarta. Acara yang difasilitasi Dinas Pariwisata DIY ini melibatkan 500-an pesepeda dari berbagai komunitas sepeda, termasuk Opoto.
Sepagi itu, setelah menyusuri jalan lingkar ( RINGROAD ), kami menuju ke utara lewat jalan Kaliurang dan berbelok ke arah jalan Monjali. Kawasan Jogja utara yang kami lewati telah benar-benar  berbenah. Jalanan dipadatai kendaraan, sementara di kanan-kiri jalanan penuh dengan ruko, outlet, kafe hingga resto dengan nama-nama mentereng –sebagian besar berbahasa asing– menghiasi papan nama mereka.
Suasana asri dan membumi baru kami rasakan setelah di kilometer 14, tepatnya di perempatan SLB Dusun Balong Desa Donoharjo Kec. Ngaglik Kab. Sleman kami berbelok ke barat menuju dusun Sorowulan, atau yang di lidah masyarakat sekitar biasa disebut Srowolan. Konon, di dusun ini dahulu tinggal seorang empu yang terkenal karena kebiasaannya membuat keris pada setiap bulan purnama. Nama Empu Suro inilah yang kemudian diabadikan menjadi nama dusun Surowulan yang kemudian terlafalkan menjadi Sorowulan, bahkan Srowolan.
Lesung batu peninggalan Empu Suro
Ketika kami sampai di sudut pasar Srowolan, di bawah naungan sebuah pohon beringin besar kami melihat sebuah monumen berupa lesung batu. Di lesung batu itulah dahulu Empu Suro biasa mencelupkan keris yang sedang dibuatnya.


Pasar tradisional Sorowulan yang juga disebut Pasar Perjuangan Kasultanan ini pun adalah sebuah pasar bersejarah. Pada puncak kejayaannya, pasar yang didirikan pada tahun 1921 ini merupakan pasar terbesar kedua setelah pasar Ngasem. Di tengah keramaian pasar ini, dahulu para mata-mata pejuang Indonesia biasa berbaur dan bertukar informasi. Keluasan area pasar ini juga telah memungkinkan menjadi tempat persinggahan pasukan Siliwangi pada peristiwa hijrah Madiun. Kini, upaya mengembalikan fungsi dan keramaian pasar Sorowulan tengah dirintis kembali.

Apa yang kemudian kami saksikan pagi itu tak ubahnya sebuah rekontruksi zaman. Tak jauh dari panggung di sebelah monumen lesung batu itu sekelompok kanak-kanak bermain Kudha Lumping. Irama tabuhannya bertalu-talu seolah mengundang seluruh warga dusun untuk berkumpul. Sementara setelah para peserta sepeda wisata berdatangan, pasar itu segera dihidupkan oleh ramainya transaksi antara pembeli dan penjual sarapan, teh panas, serta aneka jajanan.

Sesaat kemudian, beratus-ratus pesepeda itu memulai Migrasinya, bersepeda dari sekitar area outbond Banyusumilir. Meskipun udara terasa sejuk dan segar, tetapi perjalanan melewati jalanan kampung di tepi perkebunan salak yang penuh tanjakan telah membuat peluh kami bercucuran. Untunglah kesegaran suasana yang ada terus menggairahkan semangat para peserta.
Terlebih ketika kami sampai di pos perhentian yang asri di kawasan Kembang Arum. Sungainya yang jernih dengan bangunan joglo yang terawat, serta kolam-kolam di antara tetumbuhan membuat para peserta terlihat betah. Mereka melepas lelah dan dahaga sambil tak lupa berfoto bersama. Para Opoters ada di antara mereka.

Separo perjalanan berikutnya merupakan rute yang memanjakan kaki kami. Jalanan terus menurun hingga tanpa terasa kami sudah kembali memasuki dusun Sorowulan.












Kami segera berkumpul di sekitar panggung menikmati konsumsi yang disediakan sambil menyaksikan pertunjukan jathilan dengan berbagai atraksinya yang menegangkan, sebelum acara seru yang juga ditunggu-tunggu tiba: pengundian doorprize.
Pembagian doorprize pun berjalan lancar tanpa berlarut-larut. Acara usai. Para peserta satu per satu pulang dengan wajah ceria sambil menjinjing beberapa makanan sebagai oleh-oleh, seperti jadah ketan, arem-arem, carang gesing, tempe serta tahu bacem, wajik ketan manis, dan tentu saja buah salak pondoh dari kebun setempat.
Sementara itu, karena masih ingin menikmati suasana desa, kami mengayuh sepeda perlahan menuju area outbond Banyusumilir. Di sana kami bertemu dengan beberapa panitia dan Pak Dukuh. Kami sempat berbincang tentang dusun Sorowulan, Kadilobo, dan Karanggeneng sebagai kawasan yang masih alami sehingga menyimpan potensi wisata yang saat ini begitu diminati. Apa lagi kawasan ini pernah menjadi bagian penting dari sejarah perjuangan bangsa. Sayuti Melik yang dikenal sebagai tokoh yang ikut berperan dalam penyiapan naskah proklamasi kemerdekaan RI adalah pemuda kelahiran dusun Kadilobo. Yang perlu dilakukan oleh kawasan ini adalah menjadi diri sendiri, mempertahankan keasrian alami, melestarikan warisan budaya tradisi yang penuh kearifan lokal sehingga menjadi pengobat dahaga bagi orang-orang yang mengunjunginya.
Kami juga sempat berkeliling melihat ada banyak tujuan wisata baru yang bermunculan di kawasan ini. Mereka menawarkan menu wisata yang hampir mirip satu sama lain: outbond berbasis pendidikan, bumi perkemahan, arena pemancingan, dan tempat makan. Beberapa seperti di Kembang Arum bahkan sudah dilengkapi dengan rumah tinggal.
Cara berpikir kami yang sederhana segera memunculkan sebuah pertanyaan, bagaimana kalau semua potensi yang ada ini dikelola bersama menjadi sebuah kawasan desa wisata yang terintegrasi? Misalnya untuk seluruh kegiatan outbond dipusatkan di satu area tersendiri, begitu juga dengan wisata air, penginapan, kebun salak, resto, dan pusat oleh-oleh serta cenderamata. Dengan demikian, tempat ini akan menjadi tempat tujuan wisata berskala besar yang sanggup menampung wisatawan dalam jumlah banyak.
Persaingan barangkali akan menempa kita menjadi kuat. Akan tetapi, ada kalanya untuk meraih sebuah kemenangan kita justru harus berhenti bersaing agar dapat saling berkolaborasi, menciptakan sinergi yang lebih berdayaguna demi kesejahteraan bersama.
Siang itu, hingga tiba saat pamitan, kami tidak menikmati semangkuk soto. Hanya saja, tangan kami sekarang menjinjing jadah tempe dan beberapa kilo salak pondoh yang manis untuk keluarga di rumah.

di post oleh wongeres OPOTO di : http://onthelpotorono.wordpress.com/2010/06/12/desa-wisata-sorowulan-rumput-yang-butuh-siraman/ '12/06/2012/'

Share this games :

0 comments:

Post a Comment